in
Aku memperhatikan jembatan kayu di dermaga yang licin penuh lumpur itu dari jendela
sepit (
speedboat),
sebelum akhirnya melemparkan pandangan ke sekelilingnya. Hanya ada
rerumputan dan pohon-pohon. Hijau yang bagai emerald di daratan
dipermanis dengan air sungai sewarna teh susu dibawahnya. Ada refleksi
kehijauan di sungai itu. Sepi. Bahkan suara burung walet yang sudah
mulai biasa aku dengar di desaku, disinipun tidak terdengar kicauannya.
Sekarang pukul 9 pagi, dan sekarang aku merasa ragu bahwa ini adalah
desa Bandar Agung. Lebih-lebih aku tidak tahu pasti bahwa tempat ini
memang benar-benar di muara sungai menuju desa tempat tinggalku.
Memang, aku ini salah turun. Desa Bandar Agung masih harus beberapa km
dari muara sungai, dan aku pagi-pagi di muara tanpa kontak orang desa.
Aku berdecak, kali ini melihat langit. Hari ini langit memutuskan untuk
meniru warna batu. Abu-abu. Mirip sekali dengan langit dikala
winter
di Melbourne. Hanya saja, matahari disini lebih betah berlama-lama
dibanding langit abu-abu di Negeri Kangguru. Ah... baru saja akhirnya
aku benar-benar sampai di desaku seorang diri, pertama kali pula, tetapi
hujan sudah rintik-rintik saja. Bagus, jalan akan semakin licin untuk
dilalui.
“
Benar ini P16?”, tanyaku kepada supir sepit, berharap bukan
ini tempatnya. Mencoba memastikan kembali kepada sang supir ketika aku
mencoba memanjat ke
pucuk (atas) kapal untuk mengambil tasku. Ia mengangguk santai. Dengan pasrah aku mengambil tas
carrier
kesayanganku. Tasku berat, hasil dari belanja bulanan-ku di Palembang
kemarin. Ya, beberapa hari yang lalu, aku ke Palembang untuk
mengantarkan PM IV pulang setelah memenuhi janji kemerdekaan mereka
untuk mencerdaskan anak bangsa. Kali ini giliranku berlari meneruskan
tongkat estafet.
Setelah tawar menawar harga dan membayarkan biaya
sepit kepada
awak kapal, aku mencoba meniti jembatan kayu yang semula hanya bisa aku
perhatikan saja. Sepatu karet yang kukenakan ternyata tidak membantuku
untuk berdiri tegap di jembatan. Satu langkah, licin sekali. Aku
sedikit tertawa, terpikirkan kalau-kalau aku jatuh, itu akan menjadi
pengalaman pertamaku mencicipi sungai Musi. Aku bisa berenang.
Mungkin. Aku belum mampu berenang di kedalaman sungai lebih dari 30 meter seperti sungai Musi ini.
Di langkahku yang kedua, entah karena jengah melihatku berjalan bagai
siput, atau karena kasihan melihatku sebagai orang baru (dengan badan
kecil dan rompi Indonesia Mengajar yang besar), supir
sepit menyuruh awaknya untuk membantu membawakan tas
carrier-ku
sampai ke darat. Biasanya aku tidak suka barangku dibawakan, tapi
sekarang aku tak menolak, tentu saja. Sang awak dengan ringannya
berjalan meniti kayu-kayu berlumpurkan tanah liat membawa tasku keatas.
Dia dengan lihainya sudah berjalan kembali menuju sepit setelah
meletakkan tasku sembarangan diatas tanah. Aku? masih tetap setia di
tempat yang sama. Belum bergerak, mencoba mencari-cari kemampuan
kinestetik untuk melangkah dengan seimbang.
Langkah-langkah berikutku kemudian diisi dengan seruan supir
sepit dan
beberapa ibu-ibu yang menontoniku dari jendela kepadaku (yang tiba-tiba
aku merasa seperti di pertunjukan sirkus) dalam bahasa Melayu-nya untuk
melepaskan sepatu karetku agar lebih mudah berjalan. Aku memilih untuk
mengikuti saran mereka.
***
Kapal
sepit Wawan Putra, dengan biaya transport yang lebih
mahal dari biasanya karena kenaikan BBM itu, akhirnya benar-benar pergi
ketika aku sampai di atas. Kapal itu menuju Palembang. Aku sebenarnya
beberapa hari yang lalu juga ada di Palembang.
Kala itu,sehabis selesai segala urusan di Palembang dan bersiap ke dermaga Ampera, aku lupa nama-nama kapal
sepit yang menuju desaku. Seharusnya aku tidak satu
sepit
dengan rekan-rekan PM-ku, hanya saja rayuan calo-calo kapal membuatku
yakin bahwa desaku juga menjadi salah satu tempat perhentian.
Ya, secara teknis, benar kapal tersebut turun di P16, tetapi di muara
sungai menuju desaku. Masih ada 1,5 km lagi dari muara menuju desaku,
dan aku tidak familiar dengan muara itu. Ditambah hujan badai yang
sempat membuat sungai Musi yang tenang dan dalam menjadi berombak besar
dan berguncang-guncang seperti di laut., akhirnya aku mengambil pilihan
yang aman. Dari pada terdampar di muara yang tidak kukenal di tengah
hujan, lebih baik ke desa temanku untuk beberapa hari.
Sekarang aku disini, setelah menghabiskan beberapa hari di desa rekan
PM yang lain, aku memutuskan untuk kembali ke desa. Aku turun di muara
sungai desa P16B karena memang kapal
sepit dari desa rekan PM
tidak bisa langsung ke desaku. Ia hanya dapat menurunkanku disini, di
muara. Dengar-dengar, di muara banyak buaya, tetapi aku bersyukur tidak
melihat satupun sekarang. Aku sebenarnya gugup, tetapi kemudian
teringat dengan nasihat ayah.
Jika kamu tersesat atau tidak familiar di suatu tempat,
bersikaplah seperti kamu mengenal daerah itu. Menepilah. Duduk dan
amati orang-orangnya, tempatnya, situasinya. Jangan menarik perhatian.
Kemudian ketika sudah waktunya, berbaurlah.
Aku jelas tidak duduk, celana bahan berwarna hitamku akan penuh lumpur
lengket jika aku duduk. Aku memikirkan antara harus melepaskan rompi
Indonesia Mengajar yang mencolok ini atau tidak, dan akhirnya lebih
karena dorongan rasa repot melepaskannya, aku memilih untuk tetap
mengenakannya. Aku mengamati sekeliling. Di sebelah kananku, sungai
Musi yang keruh karena hujan semalam. Dibelakangku, tidak ada jalan,
namanya juga muara. Buntu. Di kiriku, pepohonan dan tembok-tembok
putih yang aku tidak tahu apa. Pohon-pohon tinggi menghalangi
pemandangan dibelakangnya. Di depanku ada jalan, pasti jalan menuju
desa. Tapi tetap tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sepi sekali padahal
sudah sesiang ini.
Aku kemudian teringat tadi pagi ketika aku diantar oleh anak-anak SD
tempat rekan PM-ku di Sungai Kubu di dermaga. Mereka mengantar dengan
ramai, dan dengan senyum ceria di wajah. Sama seperti pertama kali aku
datang bersama temanku, dimana mereka berlarian ke dermaga untuk
menjemput dan berlomba-lomba membawakan barang-barang kami. Aku senang
sekali dengan kehadiran mereka. Lalu kubandingkan dengan keadaan
disini, di daerah muara ini, sunyi. Kontras sekali. Tidak ada celoteh
anak-anak atau suara keriuhan warga. Tiba-tiba aku merindukan mereka.
Anak-anak Sungai Kubu yang pandai berpantun.
Aku menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran dan kembali ke
situasi sekarang. Sepertinya tak ada ojek, jadi aku memutuskan untuk
berjalan sambil menunggu orang-orang yang mungkin bisa kutumpangi. Kali
ini sepatu karetku tidak mau bekerja sama. Ia sukses membawa segumpal
lumpur setiap aku menapakkan kaki. Entah kenapa di situasi ini aku
berpikir tentang anatomi kaki bebek untuk berjalan di atas tanah
berlumpur. Akan berguna sekali karena aku tidak perlu membawa
lumpur-lumpur liat ini sejauh 1,5 km lagi jika aku punya kaki seperti
itu. Rompiku juga terkena lumpur sana-sini ketika mencoba meletakkan
tas
carrier ke punggungku. Di pikiranku hanya tentang bagaimana mencuci semua ini.
Tak lama berjalan, aku melihat warung. Rupanya disini adalah daerah
persawahan. Lega rasanya melihat ternyata ada orang-orang disini.
Sembari mencoba keberuntungan dengan menanyakan kemungkinan ada ojek
disini, alih-alih mereka mengatakan bahwa sudah jelas tidak ada ojek.
Seorang ibu-ibu bermuka Jawa dengan mengenakan kerudung sekenanya,
tampaknya si empu-nya toko, memperhatikan bawaanku dari atas sampai
bawah. Sembari memperhatikan, ia memberitahukan bahwa perjalananku
masih jauh dan jalan sedang licin dan berbahaya untuk dilalui
motor. Seketika itu aku tidak percaya tentang keberuntungan, yang ada
hanyalah usaha. Karena setelah mengucapkan terima kasih dan mencoba
melanjutkan perjalanan, mereka kembali memanggilku untuk mengantarkanku
ke tempat tujuan. Ya, usaha. Usaha memancing untuk diantarkan sampai ke
tempat tujuan,
hahaha.
Di sepanjang jalan, aku bersyukur tidak perlu berjalan kaki karena
jalanan benar-benar buruk di kala hujan. Struktur tanah disini lebih
seperti lempung (tetapi aku memang bukan ahli struktur tanah dan
sifatnya). Dan mungkin karena pohon-pohon penyerap air banyak tumbuh
disini, membuat jalan ini kering ketika kemarau dan liat ketika hujan.
Aku harus berdiam sebisa mungkin tidak membuat gerakan sekecil apapun
supaya kami tidak sama-sama jatuh dari motor. Tentu saja sulit, karena
aku menggendong tas sebesar diriku. Aku memperhatikan motor-motor
disini memiliki ban seperti bentuk tahu kotak-kotak kecil supaya tidak
terlalu licin ketika menyusuri jalanan khas.
Kemudian aku melewati pasar, menaiki jembatan yang derajat
lengkungannya seperti derajat lengkung pelangi. Mencoba menengok
kanan-kiri, berharap aku melihat beberapa anak sambil bertanya-tanya
apakah anak itu murid SD ditempatku. Maklum, sebelumnya aku hanya
tinggal di desa 4 hari. Sehari bertemu anak-anak muridku di acara pisah
sambut, dan sisanya menemani kakak PM IV untuk mengantarkan rekanku ke
desanya. Kemudian selang dua hari kemudian langsung menuju ibukota
provinsi untuk mengantarkan kakak-kakak PM kami tersayang kembali ke
Jakarta.
***
Perjalanan dari muara ke desa menjadi waktu refleksi buatku sendiri.
Ketika di pasar tadi, aku melihat seorang anak melambaikan tangannya
dan berteriak menyapaku,
"Bu Guru Trista!".
Siapa dia, aku bertanya-tanya dalam hati, karena selang waktu
sedetik, motor sudah melaju meninggalkan wajah yang kulihat kabur-kabur
itu. Aku hanya bisa melambaikan tangan.
Setelah melewati dua jembatan lengkung itu, tak lama kemudian aku
melihat sekolahku. Pagar biru-putih. Lapangan upacara yang hijau.
Pohon-pohon Bougenville merah jambu. Masih sama dengan yang ada di
memoriku. Di kejauhan, terdapat tower Merah dari provider yang katanya
sudah bangkrut. Kemudian seperti di sekolah-sekolah lainnya, ketika
mendongak ke atas, kamu bisa melihat bendera Merah-Putih di langit yang
tiba-tiba membiru. Langit di Lalan memang tidak betah dengan abu-abu.
***
Disini, di desa Bandar Agung ini, akan menjadi tempat baruku selama
setahun. Aku bahkan masih tidak tahu apa yang aku ingin capai atau yang
aku harapkan, karena toh dari awal aku hanya ingin membantu.
Aku belum berbincang dengan anak-anakku, kecuali satu siswa yang ikut
ke Palembang karena ia lolos ke babak final OSK ke Jakarta. Belum
sempat aku berinteraksi dengan keluguan dan ketidakluguan mereka. Masih
belum nyata bagiku, karena aku belum mengenal anak-anakku. Aku masih
dipenuhi dengan idealisme hasil pemeriksaanku sendiri. Aku siap, aku
tentu saja siap. Namun sudah beberapa bulan ini aku begitu berjalan
dengan fakta-fakta yang ada.
Tak pernah aku membayangkan desa ini seperti apa. Aku telah terbiasa
tidak berharap apapun, tetapi aku memang tetap berjalan dengan segala
analisa futuristik yang selalu aku sebut-sebut sebagai proposal
kehidupan. Walau kebanyakan, manusia memang hanya bisa berencana, dan
disitulah aku menyadari arti berhenti mengharap dan lebih baik
berbuatlah lebih banyak. Lebih memilih mensyukuri masa kekinian
dibanding yang nanti-nanti.
Tetapi yang kulihat sekarang adalah harapan. Kata sapaan anak yang
menyebutku "Bu Guru Trista" itu memberiku harapan yang sederhana. Suatu
pengingat. Harapan diriku bisa benar-benar lebih menikmati hidup
‘sekarang’ bersama mereka dengan segala ketidakpastian masa depan.
Menanggalkan segala attribut ke-aku-an. Ke-individualisme-an. Bermain
dan belajar dengan mereka, memberikan mereka hak untuk mendapat
informasi yang tiada batas. Ya, membantu.
Saat ini, PM lainnya juga sedang mengalami hal yang kurang lebih
sama. Mungkin berbeda, tetapi esensinya tetap sama. Tidak hanya PM,
tetapi manusia lainnya juga. Saat ini, temanku yang lain juga sedang
berjuang sukarela untuk
Teach for Malaysia-nya, mungkin telah
melewati masa bertanya-tanya tentang tujuan. Yang sedang bersepeda
keliling Kanada untuk menaikkan kesadaran
SOS Children's Village tentang keadaan anak-anak di desa juga sama. Kita punya tujuan yang sama. Membantu.
Karena itu, tak sabar rasanya menunggu masuk sekolah. Bertemu
anak-anak yang mukanya hanya kuingat ketika bertemu sekali saja di acara
pisah-sambut PM. Satu hari bersama mereka. Itu sudah cukup membuat
senyumku merekah. Aku menunggu 364 hari lainnya setelah merasakan
momentum bertemu mereka untuk yang pertama kali. Anak-anak, beri aku
harapan: tersenyum bersama-sama kalian dibawah bendera Merah Putih kita,
belajar banyak dan tak henti-hentinya!
***
2 Juli 2013. Desa Bandar Agung, Kecamatan Lalan, Musi Banyuasin